PENGERTIAN PENALARAN MENURUT PARA AHLI
Bakry (1986:1) menyatakan bahwa Penalaran atau
Reasoning merupakan suatu konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu
proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru
dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui. Suriasumantri (2001:42)
mengemukakan secara singkat bahwa penalaran adalah suatu aktivitas berpikir
dalam pengambilan suatu simpulan yang berupa pengetahuan. Keraf (1985:5)
berpendapat bahwa penalaran adalah suatu proses berpikir dengan
menghubung-hubungkan bukti, fakta, petunjuk atau eviden, menuju kepada suatu
kesimpulan.
FAKTA
DAN PROPOSISI
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat kita
simpulkan bahwa penalaran adalah suatu proses berpikir yang berusaha
menghubungkan fakta-fakta dan bukti-bukti untuk menarik kesimpulan. Sehingga
dapat diketahui bahwa unsur dasar penalaran adalah fakta. Suatu pemikiran bisa
disebut ilmiah apabila terdapat fakta di dalamnya.
Fakta sebagai unsur dasar penalaran memiliki jumlah
yang tidak terbatas. Karena itu, untuk memudahkan pemahaman perlu dibuat
klasifikasi fakta. Dalam membuat klasifikasi fakta diperlukan pengetahuan
mengenai fakta yang berhubungan karena klasifikasi berarti mengelompokkan
fakta-fakta ke dalam suatu hubungan yang logis berdasarkan suatu sistem.
Selain fakta, proposisi juga merupakan unsur yang
penting dalam penalaran. Proposisi adalah ungkapan yang dapat dipercaya,
disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar-tidaknya. Dengan kata lain
proposisi adalah pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau ditolak
karena kesalahannya. Contohnya sebagai berikut:
Bola itu bentuknya bulat.
Ibu kota Jawa Tengah adalah Bandung
Kalimat pertama merupakan pernyataan yang dapat
dibuktikan kebenarannya. Sedangkan, kalimat kedua merupakan pernyataan yang
dapat ditolak karena kesalahannya.
PROSES
PENALARAN
Proses penalaran dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu proses penalaran induktif dan proses penalaran deduktif. Penalaran ilmiah
merupakan perpaduan kedua proses itu.
EVIDENSI
Evidensi adalah semua fakta yang ada, yang
dihubung-hubungkan untuk membuktikan adanya sesuatu. Evidensi merupakan hasil
pengukuan dan pengamatan fisik yang digunakan untuk memahami suatu fenomena.
Evidensi sering juga disebut bukti empiris. Akan tetapi pengertian evidensi ini
sulit untuk ditentukan secara pasti, meskipun petunjuk kepadanya tidak dapat
dihindarkan.
Kita mungkin mengartikannya sebagai “cara bagaimana
kenyataan hadir” atau perwujudan dari ada bagi akal”. Misal Mr.A mengatakan
“Dengan pasti ada 301.614 ikan di bengawan solo”, apa komentar kita ? Tentu
saja kita tidak hanya mengangguk dan mengatakan “fakta yang menarik”. Kita akan
mengernyitkan dahi terhadap keberanian orang itu untuk berkata demikian.
Tentu saja reaksi kita tidak dapat dilukiskan
sebagai “kepastian”, Tentu saja kemungkinan untuk benar tidak dapat di
kesampingkan, bahwa dugaan ngawur atau ngasal telah menyatakan jumlah yang
persis. Tetapi tidak terlalu sulit bagi kita untuk menangguhkan persetujuan
kita mengapa ? Karena evidensi memadai untuk menjamin persetujuan jelaslah
tidak ada. Kenyataannya tidak ada dalam persetujuan terhadap pernyataan
tersebut.
Sebaliknya, kalau seorang mengatakan mengenai ruang
di mana saya duduk, “Ada tiga jendela di dalam ruang ini,” persetujuan atau
ketidak setujuan saya segera jelas. Dalam hal ini evidensi yang menjamin
persetujuan saya dengan mudah didapatkan.
Dalam wujud yang paling rendah. Evidensi itu
berbentuk data atau informasi. Yang di maksud dengan data atau informasi adalah
bahan keterangan yang di peroleh dari suatu sumber tertentu.
INFERENSI
& IMPLIKASI
Interferensi
Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian
interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan
kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan
(ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi,
tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa
interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang
tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat
(sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik) (Suwito,1985:55).
Interferensi, menurut Nababan (1984), merupakan
kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran
bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu,
Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa
penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.
Interferensi
dalam bentuk kalimat
Interferensi dalam bidang ini jarang terjadi. Hal
ini memang perlu dihindari karena pola struktur merupakan ciri utama
kemandirian sesuatu bahasa. Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri
di kampung itu, atau Makanan itu telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya
telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk interferensi
karena sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih gramatikal
yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah saya makan,
dan Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin.Terjadinya penyimpangan
tersebut disebabkan karena ada padanan konteks dari bahasa donor, misalnya:
Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya
Interferensi
Semantik
Berdasarkan bahasa resipien (penyerap) interferensi
semantis dapat dibedakan menjadi, Jika interferensi terjadi karena bahasa
resipien menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain, yang
disebut sebagai perluasan (ekspansif). Contohnya kata demokrasi, politik,
revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-Latin.
Yang perlu mendapat perhatian, interferensi harus
dibedakan dengan alih kode dan campur kode. Alih kode menurut Chaer dan
Agustina (1995:158) adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh
seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu, dan dilakukan dengan
sengaja. Sementara itu, campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih
dengan saling memasukkan unsur bahasa
yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Interferensi merupakan
topik dalam sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat pemakaian dua bahasa
atau lebih secara bergantian oleh seorang dwibahasawan, yaitu penutur yang
mengenal lebih dari satu bahasa.
Penyebab terjadinya interferensi adalah
kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh
bahasa lain (Chaer,1995:158). Biasanya interferensi terjadi dalam penggunaan
bahasa kedua, dan yang menginterferensi adalah bahasa pertama atau bahasa ibu
Pengertian
Implikasi
Perhatikan pernyataan berikut ini: “Jika matahari
bersinar maka udara terasa hangat”, jadi, bila kita tahu bahwa matahari
bersinar, kita juga tahu bahwa udara terasa hangat. Karena itu akan sama
artinya jika kalimat di atas kita tulis sebagai:
“Bila matahari bersinar, udara terasa hangat”.
”Sepanjang waktu matahari bersinar, udara terasa
hangat”.
“Matahari bersinar
berimplikasi udara terasa hangat”.
“Matahari bersinar hanya jika udara terasa hangat”.
Berdasarkan pernyataan diatas, maka untuk
menunjukkan bahwa udara tersebut hangat adalah cukup dengan menunjukkan bahwa
matahari bersinar atau matahari bersinar merupakan syarat cukup untuk udara
terasa hangat.
Sedangkan untuk menunjukkan bahwa matahari bersinar
adalah perlu dengan menunjukkan udara menjadi hangat atau udara terasa hangat
merupakan syarat perlu bagi matahari bersinar. Karena udara dapat menjadi
hangat hanya bila matahari bersinar.
Cara
menguji data, fakta dan autoritas
Cara
menguji data
Data dan informasi yang digunakan dalam penalaran
harus merupakan fakta. Oleh karena itu perlu diadakan pengujian melalui
cara-cara tertentu sehingga bahan-bahan yang merupakan fakta itu siap digunakan
sebagai evidensi. Dibawah ini beberapa cara yang dapat digunakan untuk
pengujian tersebut.
1. Observasi
2. Kesaksian
3. Autoritas
Cara
menguji fakta
Untuk menetapkan apakah data atau informasi yang
kita peroleh itu merupakan fakta, maka harus diadakan penilaian. Penilaian
tersebut baru merupakan penilaian tingkat pertama untuk mendapatkan keyakitan
bahwa semua bahan itu adalah fakta, sesudah itu pengarang atau penulis harus
mengadakan penilaian tingkat kedua yaitu dari semua fakta tersebut dapat
digunakan sehingga benar-benar memperkuat kesimpulan yang akan diambil.
1. Konsistensi
2. Koherensi
Cara menguji autoritas
Seorang penulis yang objektif selalu menghidari
semua desas-desus atau kesaksian dari tangan kedua. Penulis yang baik akan
membedakan pula apa yang hanya merupakan pendapat saja atau pendapat yang
sungguh-sungguh didasarkan atas penelitian atau data eksperimental.
1. Tidak mengandung prasangka
2. Pengalaman dan pendidikan autoritas
3. Kemashuran dan prestise
4. Koherensi dengan kemajuan
Sumber : http://wikipedia.com
0 komentar:
Posting Komentar